ARTIKEL PENDIDIKAN POPULER:
PRINSIP-PRINSIP MENEMUKAN SUATU KEBENARAN (SUATU INDIKATOR BAGI PRAKTISI PENDIDIKAN DALAM USAHA MENEMUKAN DAN MENGUNGKAPKAN SUATU KEBENARAN ILMU PENGETAHUAN)
Oleh Yarman Gulo, S.Th., M.Pd.K
(Alumni Sarjana Theologia STT Lets Bekasi, Magister Pendidikan Kristen dari STT Lintas Budaya Batam, Tenaga Pengajar di STT Global Misi, STT STT Oikumene Medan, STT Solafide, STIKES Mitra Husada Medan, SD Swasta Surya Anugerah dan SD Swasta Tunas Karya Deli Serdang, Guru Penggerak Angkatan 1 Kabupaten Deli Serdang dan Mahasiswa PPG IAKN Ambon 2023)
ABSTRAK
Kebenaran suatu ilmu pengetahuan yang dipelajari di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi baik pendidikan umum (sekuler) maupun pendidikan agama di Indonesia diharuskan sesuatu kebenaran yang hakiki supaya hal itu tidak menyesatkan tetapi justru bermanfaat bagi umat manusia.
Dalam kamus Bahasa Indonesia dikatakan bahwa kebenaran itu adalah “ hal atau keadaan cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya, sesuatu yang benar atau sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya; misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama, kejujuran; ketulusan hati.” Kebenaran ialah “ kesesuaian pengetahuan dengan objeknya, jadi ketidaksesuaian pengetahuan dengan objeknya adalah kekeliruan (Sutrisno&D.R.M. Hanafi, 2007:43).”
Tulisan ini memiliki tujuan untuk mengetahui prinsip-prinsip menemukan suatu kebenaran ilmu pengetahuan baik yang diajarkan pada lembaga pendidikan sekuler dan pendidikan agama agar setiap praktisi pendidikan yaitu para pelajar, mahasiswa, guru dan dosen mempunyai prinsip-prinsip yang kokoh dalam menemukan dan menyatakan suatu kebenaran ilmu pengetahuan supaya pengetahuan yang diperoleh dapat berguna bagi diri sendiri, sesama dan lingkungan hidup.
Prinsip-prinsip dalam usaha menemukan dapat menggunakan dua jenis pendekatan yaitu pendekatan secara non ilmiah dan pendekatan secara ilmiah. Tetapi bagi para praktisi pendidikan diharapkan berusaha menemukan dan menyatakan kebenaran suatu ilmu pengetahuan, dipastikan terlebih dahulu telah melakukan suatu proses atau pendekatan yang disebut pendekatan ilmiah melalui metode penelitian ilmiah atau setidak-tidaknya telah menguji suatu kebenaran itu melalui cara berpikir secara ilmiah yaitu berpikir skeptik, analitik dan kritis.
Kata Kunci: Kebenaran dan Ilmu Pengetahuan.
Pendahuluan
Manusia akan puas apabila ia dapat memperoleh pengetahuan mengenai apa yang dipermasalahkan dan lebih puas lagi apabila pengetahuan yang diperoleh itu adalah pengetahuan yang benar. Oleh karena itu manusia selalu ingin mencari dan memperoleh pengetahuan yang benar (Kholid Narbuko dan Abu ahmadi,1997). [1]
Kemudian menurut pandangan umum, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Sehingga dengan cara ini maka jawaban yang diberikan berupa kebenaran yang hakiki.[2] Jadi kebenaran dalam filsafat ilmu adalah suatu hal yang didambakan, dicari, dikejar sampai dapat. Bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan baik di sekolah-sekolah maupun di perguruan-perguruan tinggi, baik para siswa, mahasiswa, guru dan para dosen sangat penting memegang suatu prinsip-prinsip dalam menemukan da mengungkapkan suatu kebenaran suatu ilmu pengetahuan. Dalam melakukan usaha mencari dan menemukan suatu kebenaran yang hakiki itu diperlukan azas-azas pokok, atau aturan-aturan yang dikenal dengan prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip dalam menemukan suatu kebenaran tersebutlah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Pokok Permasalahan
Apakah prinsip-prinsip yang menjadi indikator bagi para praktisi pendidikan dalam menemukan suatu kebenaran ilmu pengetahuan?
Pembahasan
Pengertian Kebenaran
a. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta dan dikutip oleh Surajiyo[3], kebenaran adalah: 1. Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya), 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama, 3. Kejujuran; ketulusan hati.
b. Kebenaran ialah kesesuaian pengetahuan dengan objeknya.[4] Jadi ketidaksesuaian pengetahuan dengan objeknya adalah kekeliruan.
c. Benar adalah Persesuaian antara pikiran dan kenyataan (Randall dan Bucher :2011).[5]
d. Menurut Jujun, kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu.[6]
e. Dalam Kamus Alkitab[7] kebenaran dalam Perjanjian Lama: Allah adalah keterpercayaan-Nya (Yesaya 65:16), laporan-laporan yang telah diuji secara pribadi ditetapkan sebagai benar dan terpercaya/teruji (1Raj.10:6-7). Dalam Perjanjian Baru pengertian kebenaran adalah: pengetahuan yang tepat (1Tim.4:3; 2 Tim. 2:25), yang harus ditaati (Gal. 5:7), kebenaran Allah (Yoh.3:33), yang dinyatakan oleh Kristus (Yoh.8:26), Kristus sendiri adalah kebenaran (Yoh. 14:6), Roh Kudus adalah Roh Kebenaran (Yoh.15:26).
Jadi kebenaran yang dimaksudkan oleh penulis di sini adalah kebenaran umum dari suatu ilmu pengetahuan, baik yang dipelajari dan diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan sekuler sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi maupun pada lembaga pendidikan Agama Kristen seperti Sekolah Tinggi Teologi (STT) di seluruh Indonesia.
Prinsip-Prinsip Yang Harus Dikuasai Dalam Menemukan Suatu Kebenaran Ilmu Pengetahuan.
Prinsip-prinsip yang dimaksudkan di sini adalah asas pokok, hal-hal mendasar yang harus ada dalam menemukan suatu kebenaran dari ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip tersebut adalah memahami kriteria suatu kebenaran, jenis-jenis kebenaran dan cara-cara atau langkah-langkah menemukan suatu kebenaran:
Memahami Kriteria Kebenaran
Ada tiga teori dari kriteria suatu kebenaran yang diungkapkan oleh Jujun:[8]
a. Teory koherensi (teori kebenaran saling berhubungan).
Prpoposisi (pernyataan )dianggap benar bilamana pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten atau saling berhubungan dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Contoh: pernyataan sebelumnya: “ semua makhluk hidup pasti mati” adalah pernyataan yang benar, maka pernyataan kedua bahwa “pohon kelapa adalah makhluk hidup dan pasti akan mati” adalah benar pula sebab pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama.. Plato (427-347 S.M) dan Aristoteles (384-322 S.M.) mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya.
Matematika ialah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Matematika disusun di atas beberapa pernyataan yang dianggap benar yakni aksioma. Dengan mempergunakan beberapa aksioma maka disusun teoroma. Di atas teoroma maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu system yang konsisten.
b. Teori korespondensi (teori kebenaran saling berkesesuaian). Teori ini digagas oleh Bernard Rusell (1972-1970).
Suatu pernyataan dianggap benar bila materi pengetahuan yang dikandung pernyataan tersebut saling berkesesuaian dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya jika seseorang berkata bahwa” tugu monas ada di Jakarta” maka pernyataan itu benar sebab objek yang bersifat factual yaitu Jakarta memang tempat berdirinya tugu monas. Tetapi kalau seseorang berkata “tugu Monas ada di Semarang” maka pernyataan itu tidak benar sebab secara factual “Tugu Monas ada di Jakarta bukan di Semarang”. Jadi teori ini menyatakan bahwa sesuatu pernyataan kebenaran itu benar apabila sesuai dengan fakta-fakta yang ada.
c. Teori pragmatisme (teori kebenaran konsekuensi kegunaan) ( Jujun, 1988; dan Sudarsono, 2001).
Teori ini dicetuskan oleh Peirce (1839-1914), dalam sebuah makalah yang terbit yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli filsafat ini diantaranya William James (1842-1910), John Dewey (1895-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.
Teori ini mengatakan: bahwa kebenaran suatu pernyataan di ukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan benar jika pernyataan itu memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Misalnya: sebuah teori X dalam dunia pendidikan. Teori ini dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar siswa. Maka teori X benar karena berfungsi dan mempunyai kegunaan.
Memahami Jenis-Jenis Kebenaran.
Menurut A.M.W. Pranaka (1897) ada tiga jenis kebenaran:[9]
a. Kebenaran epistemological adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kadang-kadang disebut dengan istilah veritas cognitions ataupun veritas logica.
b. Kebenaran ontologikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan Apabila dihubungkan dengan kebenaran epistemological kadang-kadang disebut kebenaran sebagai sifat dasar yang ada dalam objek pengetahuan itu sendiri.
c. Kebenaran semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa. Disebut juga kebenaran moral karena apakah tutur kata atau bahasa itu mengkhianati atau tidak bertentangan terhadap kebenaran ontological atau epistemologikal tergantung kepada manusia yang mempunyai kemerdekaan untuk menggunakan tutur kata atau bahasa itu.
Memahami dan Melakukan Cara Menemukan Kebenaran.
Untuk memperoleh pengetahuan yang benar pada dasarnya ada 2 (dua) cara yang dapat ditempuh oleh manusia yaitu: Cara nonilmiah dan cara ilmiah. Menurut ahli filsafat pengetahuan yang benar pada mulanya diperoleh melalui cara nonilmiah dibanding dengan cara ilmiah karena keterbatasan daya pikir manusia. [10]
Menemukan Kebenaran Dengan Cara Nonilmiah
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan manusia untuk memperoleh kebenaran melalui cara non ilmiah[11] yaitu:
1. Akal sehat, menurut Counaut yang dikutip oleh Kerlinger (1973) adalah serangkaian konsep dan bagan yang memuaskan untuk penggunaan praktis bagi kemanusiaan.
Konsep adalah pernyataan abtraksi yang digeneralisasikan dan hal-hal yang khusus. Bagan konsep adalah seperangkat konsep yang rangkaian dengan dalil-dalil hipotesis dari teori. Akal sehat yang berupa konsep dapat menunjukkan hal yang benar, namun dapat juga menyesatkan. Sebagai contoh, pada abad ke-19 menurut akal sehat yang diyakini oleh banyak pendidik bahwa hukuman adalah alat utama dalam pendidikan. Tetapi penemuan ilmiah membantah kebenaran tersebut. Akal sehat banyak digunakan oleh orang awam.
2. Prasangka, adalah pengetahuan yang dilakukan dengan akal sehat dan berubah menjadi prasangka karena ada kepentingan orang yang melakukannya.
3. Pendekatan intuitif adalah pendapat mengenai sesuatu hal yang berdasarkan “pengetahuan” yang langsung didapat dengan cepat tanpa melalui proses yang tidak disadari atau tidak dipikirkan terlebih dahulu. Metode semacam ini biasanya disebut pendekatan “apriori” mungkin cocok dengan dengan penalaran, namun belum tentu cocok utk pengalaman atau data empiris.
4. Penemuan Kebetulan atau Coba-coba,. Penemuan ini diperoleh tanpa rencana, tidak pasti, dan tidak melalui langkah-langkah yang sistematik dan terkendali. Contoh kasus; Seorang anak terkurung dalam kamar sedangkan pintunya terkunci, ia bingung, kebetulan ia melihat jendela tidak terkunci. Kemudian ia keluar melalui jendela. Penemuan coba-coba (trial and eror).
5. Pendapat otoritas ilmiah dan pikiran ilmiah
Otoritas ilmiah dapat diperoleh seseorang yang telah menemukan pendidikan formal tertinggi, misalnya Doktor atau seseorang yang mempunyai pengalaman professional atau kerja ilmiah dalam suatu bidang cukup banyak (seorang professor). Biasanya pendapat mereka sering diterima tanpa harus diuji, karena dipandang benar yang mereka katakana. Namun pendapat otoritas ilmiah tidak selamanya benar bila pendapat mereka yang diungkapkan tidak berdasarkan hasil penelitian, namun hanya didasarkan pada pikiran logis semata. Bagi para praktisi sejati untuk menanggapi setiap pendapat otoritas ilmiah perlu menguji dulu dengan cara berpikir ilmiah yaitu skepik, analitik dan kritsis.
a. Menemukan Kebenaran Dengan Cara Ilmiah.
Menurut Hartono Kasmadi., dkk., (1990), cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang dilakukan melalui penelitian ilmiah. Pada setiap penelitian ilmiah melekat ciri-ciri umum yaitu pelaksanaannya yang metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang logis dan koheren. Artinya dituntut adanya sistem dalam metode maupun dalam hasilnya, Susunannya logis, Ciri lainnya adalah universalitas. Setiap penelitian ilmiah harus objektif dan tidak mengalami distorsi karena pelbagai prasangka subjektif. Agar penelitian ilmiah dapat dijamin keobjektivitasnya , maka tuntutan intersubjektivitas perlu dipenuhi. Penelitian ilmiah juga harus diverivikasi oleh semua peneliti yang relevan. Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh ilmuwan lain. Oleh karena itu penelitian ilmiah harus dapat dikomunikasikan. [12] Kebenaran yang diperoleh adalah hasil penelitian ilmiah yaitu penelitian yang dilakukan secara sistematis dan terkontrol berdasarkan atas data-data empiris yang ditemukan dilapangan. Teori yang ditemukan dapat diuji keajekanya dan kejituannya. Pengetahuan ilmiah kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siap saja yang menghendaki untuk mengujinya. Cara ilmiah ini merupakan cara mutlak dalam menemukan suatu ilmu yang dapat berpikir secara ilmiah. Ada 3 tahapan berpikir secara ilmiah yang harus dilalui yaitu:[13]
b. Skeptik.
Cara berpikir ilmiah ini ditandai oleh cara orang di dalam menerima informasi atau pengetahuan tidak langsung diterima begitu saja, namun dia berusaha menanyakan fakta-fakta atau bukti terhadap setiap pernyataan yang diterimanya.
c. Analitik
Ciri berpikir ilmiah kedua ditandai oleh cara orang dalam melakukan setiap kegiatan, ia selalu berusaha menimbang-nimbang setiap permasalahan yang dihadapinya, mana yang relevan, mana yang menjadi masalah utama dan sebagainya. Cara ini menghasilkan jawaban yang diharapkan terhadap suatu permasalahan.
d. Kritis.
Ciri berpikir ilmiah ketiga ditandai dengan orang yang selalu berupaya mengembangkan kemampuan menimbang setiap permasalahan yang dihadapinya secara objektif. Ini dilakukan agar semua data dan pola pikir yang diterapkan dapat selalu logis. Jadi selalu membutuhkan data dan kerangka berpikir yang logis untuk menentukan suatu pernyataan yang benar.
Dengan menggunakan pendekatan ilmiah dalam mencari suatu kebenaran maka akan mendapatkan hasil kesimpulan yang serupa bagi hampir setiap orang, karena pendekatan atau cara ini tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi, bias dan perasaan. Cara menyimpulkannya pun bersifat tidak subjektif tetapi obejektif. Pendekatan ilmiah inilah yang patut dikuasai oleh seorang ilmuwan terlebih-lebih para dosen/guru yang menyampaikan suatu kebenaran ilmu pengetahuan dan juga para murid, siswa dan mahasiswa yang menuntut ilmu.pengetahuan.
Kesimpulan
Dalam proses mencari suatu kebenaran diperlukan prinsip-prinsip supaya kebenaran yang ditemukan benar-benar akurat dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Adapun prinsip-prinsip yang diperlukan dalam menemukan suatu kebenaran itu yaitu: Bahwa suatu temuan pengetahuan maupun ilmu pengetahuan hanya dapat dikatakan kebenaran apabila hakekatnya sungguh-sungguh ada dan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Penemuan tersebut memiliki tiga kriteria yaitu: koheren (berhubungan dengan pernyataan sebelumnya), korespondensi (sesuai kenyataan) dan pragmatis (bermanfat). Pada proses penemuan suatu kebenaran tersebut menggunakan suatu pendekatan atau cara. Pendekatan atau cara yang dapat diterima pada umumnya ialah dengan menggunakan metode ilmiah atau dengan metode non ilmiah. Namun dalam proses penemuan kebenaran suatu ilmu pengetahuan yang akurat maka pendekatan atau cara yang digunakan dalam proses pencarian kebenaran harus secara ilmiah.
Daftar Pustaka
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Sumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007.
Ihsan, H.A. Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Hanfie, Rita & Soetriono. Filsafat Ilmu Dan Metodelogi Penelitian. Yoyakarta: Penerbit ANDI, 2007.
Surajiyo. Fisafat Ilmu Dan Perkembangannya Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Koamesakh, Adolfina. Diktat Mata Kuliah Fisafat Umum Progaram Pasca Sarjana. Medan: STT Paulus, 2012.
[1]H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 136
[2] Soetriono&SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Peneltian, (Yoyakarta: Penerbit ANDI,2007), 20.
[3]Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya Di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010, Cetakan ke-5), 102.
[4]Soetriono&SRDm Rita Hanafie, Op.Cit.,43.
[5]H.A. Fuad Ihsan, Ibid., 132.
[6]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007, Cetakan ke-20), 50.
[7]W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, Cetakan ke-1), 55.
[8]Ibid., 55-59
[9]Surajiyo, Ibid., 102
[10]H.A. Fuad Ihsan, Ibid., 136.
[11]Ibid., 137-139.
[12]Surajiyo, Ibid., 101.
[13]H.A. Fuad Ihsan, Ibid., 140.



